Muntiacus montanus (Sumatran Muntjac)
Muntiacus montanus (Sumatran Muntjac)
Kijang sumatra atau Kijang gunung
Diketemukan Kijang Gunung Yang Dianggap Punah !
Kijang Gunung (Muntiacus montanus), species kijang yang tidak ditemukan dalam 100 tahun terakhir dan dianggap telah punah ditemukan kembali di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Spesies langka tersebut ditemukan kembali oleh tim Pelestarian Harimau Sumatra (PHS) dari Balai Taman Nasional Kerinci Seblat dan Fauna dan Flora International (FFI).
"Pertama kali ditemukan pada 8 Agustus 2002 saat Montanus terjerat perangkap pemburu dan tim kami melepaskannya," kata Perwakilan dari FFI Indonesia, Dr J Sugardjito, di Jakarta, Jumat (10/10). Dia mengatakan spesies yang dianggap punah ini ditemukan diketinggian 2.400 meter Gunung Kerinci, sekitar 15 kilometer dari lokasi penemuan tipe specimen yang sama yang ditemukan di daerah Sungai Kring oleh Robinson dan Kloss pada tahun 1914.
Ia mengatakan saat melakukan ekspedisi tersebut Robinson dan Kloss hanya menemukan bukti tengkorak dan kulitnya saja. Bukti tersebut disimpan di Raffles Museum Singapore, tapi hilang saat evakuasi pada tahun 1942 begitu Jepang menduduki Singapura.
Untuk saat ini foto Kijang Gunung yang dimiliki oleh tim PHS dari Balai Taman Nasional Kerinci Seblat dan FFI, merupakan satu-satunya bukti di dunia bahwa spesies tersebut masih hidup di Taman Nasional Kerinci.
Sementara itu, menurut peneliti mamalia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), DRB Gono Semiadi, untuk meyakinkan ahli bahwa temuan ini merupakan Kijang Gunung yang telah punah dibutuhkan waktu satu tahun untuk penelitian.
"Keyakinan sudah ada dari foto dan catatan dari buku-buku taksonomi, tetapi untuk bisa yakin 100 persen perlu ada pembanding yaitu tengkorak asli Kijang Gunung tersebut. Sayangnya yang di Singapura hilang, karena itu kami coba meminjam dari pemburu yang mungkin memilikinya," ujar dia.
Kijang sumatra atau Kijang gunung
Diketemukan Kijang Gunung Yang Dianggap Punah !
Kijang Gunung (Muntiacus montanus), species kijang yang tidak ditemukan dalam 100 tahun terakhir dan dianggap telah punah ditemukan kembali di Taman Nasional Kerinci Seblat, Sumatera. Spesies langka tersebut ditemukan kembali oleh tim Pelestarian Harimau Sumatra (PHS) dari Balai Taman Nasional Kerinci Seblat dan Fauna dan Flora International (FFI).
"Pertama kali ditemukan pada 8 Agustus 2002 saat Montanus terjerat perangkap pemburu dan tim kami melepaskannya," kata Perwakilan dari FFI Indonesia, Dr J Sugardjito, di Jakarta, Jumat (10/10). Dia mengatakan spesies yang dianggap punah ini ditemukan diketinggian 2.400 meter Gunung Kerinci, sekitar 15 kilometer dari lokasi penemuan tipe specimen yang sama yang ditemukan di daerah Sungai Kring oleh Robinson dan Kloss pada tahun 1914.
Ia mengatakan saat melakukan ekspedisi tersebut Robinson dan Kloss hanya menemukan bukti tengkorak dan kulitnya saja. Bukti tersebut disimpan di Raffles Museum Singapore, tapi hilang saat evakuasi pada tahun 1942 begitu Jepang menduduki Singapura.
Untuk saat ini foto Kijang Gunung yang dimiliki oleh tim PHS dari Balai Taman Nasional Kerinci Seblat dan FFI, merupakan satu-satunya bukti di dunia bahwa spesies tersebut masih hidup di Taman Nasional Kerinci.
Sementara itu, menurut peneliti mamalia dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), DRB Gono Semiadi, untuk meyakinkan ahli bahwa temuan ini merupakan Kijang Gunung yang telah punah dibutuhkan waktu satu tahun untuk penelitian.
"Keyakinan sudah ada dari foto dan catatan dari buku-buku taksonomi, tetapi untuk bisa yakin 100 persen perlu ada pembanding yaitu tengkorak asli Kijang Gunung tersebut. Sayangnya yang di Singapura hilang, karena itu kami coba meminjam dari pemburu yang mungkin memilikinya," ujar dia.
Menurut dia, spesimen dari kijang yang telah punah ini didapat dari Belanda pada 1930. Sedangkan deskripsi awal dari Robinson dan Kloss bukan saja warna kulit yang lebih gelap yang berbeda dengan jenis kijang muntjak yang biasa ditemui di Sumatra, Bangka, dan Malaysia, tetapi juga tetapi ukurannya yang lebih kecil.
Kijang Sumatera (Muntianus montanus) |
Foto yang dimiliki FFI tersebut telah diteliti oleh Peneliti Inggris Robert Timmins, Profesor Dr Colins Grove dari Australian National University, dan DR Gono Semiadi dari LIPI (sumber: facebook Mr. Hamdan (Dosen/Peneliti pada Universitas Sumatera Utara)
Cairina scutulata (Mentok Rimba)
Mentok Rimba ( Cairina scutulata ) kerabat dekat entok yang terancam punah ada di Sumatera Utara (IUCN Red List Category & Criteria: Endangered A2cd+3cd+4cd;C2a(i) ver 3.1), Mentok
Rimba atau dalam nama ilmiahnya Cairina scutulata adalah sejenis burung
dari keluarga bebek (suku Anatidae). Spesies ini termasuk salah satu
burung air yang paling langka dan terancam punah di dunia. Mentok Rimba
juga dikenal dengan beberapa nama sepertiSerati, Mentok Hutan, Bebek
Hutan atau Angsa Hutan. Dalam bahasa Inggris spesies ini dikenal sebagai
White-winged Wood Duck.
Berbentuk
mirip dengan mentok peliharaan (Cairina moschata), Mentok Rimba
memiliki panjang tubuh (dari paruh hingga ke ujung ekor) sekitar 75 cm.
Tubuh
umumnya berwarna gelap atau kehitaman, dengan sisi bawah sayap (ketika
terbang) berwarna putih. Kepala dan leher putih, kadang-kadang dengan
bintik-bintik kehitaman. Paruh dan kaki kekuningan atau jingga kusam.
Tidak seperti mentok peliharaan, tak ada lingkaran merah di sekeliling
mata.
Mentok Rimba |
Pada
masa lalu, Mentok Rimba hidup tersebar luas mulai dari India timur
laut, Bangladesh, Asia Tenggara, Sumatra hingga Jawa. Pada tahun 2002
populasinya di seluruh dunia tinggal lagi 800 ekor; dengan sekitar 200
ekor menyebar di Laos, Thailand, Vietnam dan Kamboja, sekitar 150 ekor
di Sumatra, terutama di Taman Nasional Way Kambas, dan 450 ekor di
India, Bangladesh dan Myanmar. Di sumatera utara, mentok rimba dapat di
jumpai di Rawa Pesisir Pantai Barat Tapanuli Selatan.
AYAM KINANTAN
Ayam Kinantan |
AYAM KINANTAN
Ayam Kukuak Balenggek (AKB) sebenarnya adalah ayam lokal (buras) asli Sumatera Barat yang pada awalnya ditemukan dibeberapa desa di Kecamatan Payung Sekaki dan Tigo Lurah (antara lain; Simanau, Simiso Batu Bajanjang, Garabak Data, Rangkiang, Muaro dan Rangkiang Luluih) Kabupaten Solok. Konon ceritanya, ayam kukuak balenggek berasal dari keturunan ayam kinantan milik Cindua Mato yang mengawini ayam hutam di Bukit Sirayuah Kecamatan Payung Sekaki dan berkembang biak hingga sekarang.
Secara sepintas ayam kukuak balenggek hampir sama dengan ayam lokal (ayam buras) biasa, namun ciri-ciri utama dari ayam ini adalah suaranya yang merdu terutama untuk jantan, dimana suara kokoknya yang panjang dan bertingkat-tingkat (balenggek) 6 sampai dengan 15 tingkat kokoknya.
Keterbatasan “Plasma Nutfah” ayam ini, akibat semakin banyaknya yang dijual keluar daerah menyebabkan populasinya semakin menurun, bahkan jumlah kokok yang panjang (banyak lenggek) makin jarang terdengar di daerah asalnya karena berpindah tangan kepada penggemarnya di kota-kota. Semakin hari akibat kelangkaannya, harga pererkornya lebih tinggi, sehingga merupakan potensi yang perlu digarap melalui penangkarannya.
Ayam kukuak balenggek ini telah mendunia karena pada tahun 1981 seorang insinyur Belanda membawa sepasang ayam ini ke negara Belanda, karena dia terkesan dengan suaranya yang merdu dan indah. Pada tahun 1994 seorang pejabat kita memberikan cindera mata kepada Pangeran akishinonomiya Fumihito dari Jepang, beliau sangat terkesan sekali dengan keanggunan ayam ini sehingga beliau memerintahkan beberapa materinya harus memiliki ayam ini. Yang lebih menariknya dari ayam kokok balenggek ini adalah pada waktu-waktu tertentu diadakan "Lomba Ayam Kukuak Balenggek" yang memperlombakan kemampuan dan kemerduan suaranya. (dikutif dari facebook Bang Hamdan/Dosen Universitas Sumatera Utara)
Ayam Kukuak Balenggek (AKB) sebenarnya adalah ayam lokal (buras) asli Sumatera Barat yang pada awalnya ditemukan dibeberapa desa di Kecamatan Payung Sekaki dan Tigo Lurah (antara lain; Simanau, Simiso Batu Bajanjang, Garabak Data, Rangkiang, Muaro dan Rangkiang Luluih) Kabupaten Solok. Konon ceritanya, ayam kukuak balenggek berasal dari keturunan ayam kinantan milik Cindua Mato yang mengawini ayam hutam di Bukit Sirayuah Kecamatan Payung Sekaki dan berkembang biak hingga sekarang.
Secara sepintas ayam kukuak balenggek hampir sama dengan ayam lokal (ayam buras) biasa, namun ciri-ciri utama dari ayam ini adalah suaranya yang merdu terutama untuk jantan, dimana suara kokoknya yang panjang dan bertingkat-tingkat (balenggek) 6 sampai dengan 15 tingkat kokoknya.
Keterbatasan “Plasma Nutfah” ayam ini, akibat semakin banyaknya yang dijual keluar daerah menyebabkan populasinya semakin menurun, bahkan jumlah kokok yang panjang (banyak lenggek) makin jarang terdengar di daerah asalnya karena berpindah tangan kepada penggemarnya di kota-kota. Semakin hari akibat kelangkaannya, harga pererkornya lebih tinggi, sehingga merupakan potensi yang perlu digarap melalui penangkarannya.
Ayam kukuak balenggek ini telah mendunia karena pada tahun 1981 seorang insinyur Belanda membawa sepasang ayam ini ke negara Belanda, karena dia terkesan dengan suaranya yang merdu dan indah. Pada tahun 1994 seorang pejabat kita memberikan cindera mata kepada Pangeran akishinonomiya Fumihito dari Jepang, beliau sangat terkesan sekali dengan keanggunan ayam ini sehingga beliau memerintahkan beberapa materinya harus memiliki ayam ini. Yang lebih menariknya dari ayam kokok balenggek ini adalah pada waktu-waktu tertentu diadakan "Lomba Ayam Kukuak Balenggek" yang memperlombakan kemampuan dan kemerduan suaranya. (dikutif dari facebook Bang Hamdan/Dosen Universitas Sumatera Utara)
KAMBING HUTAN
Kambing Hutan
Turnix hanya mempunyai 3 jari kaki yang menghadapke muka. pecies Turnix di Indonesia ada 8 jenis. Salah satunya adalah Turnix suscitator atrogularis di Sumatera Utara.
Kambing Hutan |
Kambing
Hutan Sumatera (Sumatran Serow) atau yang dalam bahasa latin (ilmiah)
disebut Capricornis sumatraensis sumatraensis adalah jenis kambing hutan
yang hanya terdapat di hutan tropis pulau Sumatra. Di alam bebas
keberadaan fauna ini semakin langka dan terancam kepunahan. Oleh
International Union for the Conservation of Nature and Natural Resources
(IUCN), satwa ini dikategorikan dalam “genting” atau “Endangered”.
Ciri khas Kambing Hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis sumatraensis) ini adalah bertanduk ramping, pendek dan melengkung ke belakang. Berat badannya antara 50 – 140 kg dengan panjang badannya mencapai antara 140 – 180 cm. Tingginya bila dewasa mencapai antara 85 – 94 cm.
Kambing Hutan Sumatera ini mempunyai habitat di hutan-hutan pegunungan dataran tinggi sumatera. Diantaranya diperkirakan di ditemukan di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dan Hutan Ekosistem BatangToru- Kab. Tapanuli selatan yang secara administratif berlokasi di Provinsi Sumatera Utara
Ciri khas Kambing Hutan Sumatera (Capricornis sumatraensis sumatraensis) ini adalah bertanduk ramping, pendek dan melengkung ke belakang. Berat badannya antara 50 – 140 kg dengan panjang badannya mencapai antara 140 – 180 cm. Tingginya bila dewasa mencapai antara 85 – 94 cm.
Kambing Hutan Sumatera ini mempunyai habitat di hutan-hutan pegunungan dataran tinggi sumatera. Diantaranya diperkirakan di ditemukan di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG) di Kabupaten Mandailing Natal (Madina) dan Hutan Ekosistem BatangToru- Kab. Tapanuli selatan yang secara administratif berlokasi di Provinsi Sumatera Utara
Barred
Buttonquail ((Turnix suscitator atrogularis) “Gemak” termasuk dalam
genus TURNIX yang berbeda dengan COTURNIX, perbedaan yang menonjol pada
jumlah jari kakinya. Coturnix mempunyai 4 jari kaki, tiga menghadap
kemuka dan satu ke belakang.
Turnix hanya mempunyai 3 jari kaki yang menghadapke muka. pecies Turnix di Indonesia ada 8 jenis. Salah satunya adalah Turnix suscitator atrogularis di Sumatera Utara.
Kelinci Sumatera (Nesolagus netscheri)
Kelinci Sumatra
(Nesolagus netscheri), juga dikenal dengan nama Kelinci Sumatra telinga pendek
atau Kelinci belang Sumatra, adalah jenis kelinci liar yang hanya dapat
ditemukan dihutan tropis di pegunungan Bukit Barisan di pulau Sumatra,
Indonesia. Populasi kelinci Sumatra mengalami penurunan yang signifikan yang
diakibatkan oleh perambahan hutan yang agresif di pulau Sumatra.
Berukuran sekitar 40 cm panjangnya, kelinci Sumatra memiliki garis-garis kecoklatan, dengan ekor berwarna merah, dan bawah perutnya berwarna putih. Biasanya tinggal di hutan dengan ketinggian 600-1400 meter dari permukaan laut. Kelinci ini merupakan hewan nokturnal, dengan menempati bekas atau liang hewan lain. Makanannya adalah pucuk daun muda dan tanaman yang berukuran pendek, namun kelinci hutan yang ditangkarkan memakan biji-bijian dan buah-buahan.
Kelinci Sumatera |
Pengamatan telah dilaporkan sejak tahun 1972 sebanyak 3 kali, paling baru adalah akhir Januari 2007 ketika kamera jebakan dipasang di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan. Kelinci sumatra atau Nesolagus netscheri tercatat sebagai kelinci paling langka di dunia. Hewan inidinyatakan hampir punah oleh International Union for Conservation of Nature. Sebelumnya, hewan ini pernah dikira punah hingga pada tahun 1990-an berhasil terfoto oleh seseorang. Kelinci ini terletak pada tempat yang sangat terisolasi, hanya terdapat di hutan-hutan Bukit Barisan, Sumatra. Karena mereka terletak di tempat yang sangat terisolasi, informasi tentang perilaku dan habitatnya sangat minimal. Bahkan, masyarakat setempat tak memiliki bahasa lokal untuk menyebutnya dan ada yang tak menyadari keberadaannya.
Berdasarkan informasi yang sangat minimal itu, diketahui bahwa kelinci ini aktif pada malam hari. Di siang hari, mereka menghabiskan waktu untuk bersembunyi di dalam liang yang ditinggalkan hewan lain. Sejauh ini, tak ada bukti bahwa mereka menggali lubangnya sendiri.
Kelinci sumatra terlihat menarik sebab memiliki warna bulu yang bermotif garis. Diperkirakan, warna bulu tersebut dimiliki agar kelinci itu bisa menyesuaikan diri dan bersembunyi di dasar hutan hujan tropis. Secara umum, kelinci ini memiliki bulu yang tebal dan lembut, garis-garis yang berwarna coklat kacang, serta satu garis yang memanjang dari tengkuk hingga ekor. Ciri lainnya adalah memiliki ekor warna merah, berbobot lebih kurang 1,5 kg, panjang sekitar 40 cm dan telinga yang lebih kecil dari kelinci umumnya. Kelinci ini merupakan hewan nocturnal, dengan menempati bekas atau liang hewan lain.
Makananannya adalah
pucuk daun muda dan tanaman yang berukuran pendek, namun kelinci hutan yang
ditangkarkan memakan biji-bijian dan buah-buahan. Kelinci ini tidak mencari
makan seperti hewan lainnya yang berkeliling wilayah tertentu. Mereka memilih
untuk hanya berada di daerah sekitar liangnya dan memakan tanaman apa saja yang
ada di sana. Tentang reproduksinya, belum ada data yang cukup jelas karena
kajian tentang jenis kelinci ini jarang.
IKAN BATAK (Neolissochillus Thienemanni sumatranus)
IKAN BATAK (Neolissochillus Thienemanni sumatranus)
Dari 350 jenis biota air yang tercantum dalam "The 2000 IUCN Redlist of
the Threatened Species" (IUCN 2001) dapat diidentifrkasi 14 jenis ikan air
tawar Sumatra yang terancam punah, dan 7 jenis diantaranya (50%) termasuk ikan
endemic Sumatra. Salah satunya adalah IKAN BATAK (IHAN) Neolissochillus
Thienemanni sumatranus yang hanya ada di Danau Toba- Sumatera Utara
Danau Toba banyak menyimpan spesies endemik yang sangat beragam. Terutama
berupa ikan Batak (ihan), spesies Neolissochillus Thienemanni yang hanya ada di
Danau Toba. Berdasarkan kriteria IUCN (International Union for the Conservation
of Nature), jenis ikan ini sudah diklasifikasikan sebagai terancam
(Vulnerable).
Dulu ikan ini sering dihidangkan sebagai sajian istimewa untuk berbagai acara
pesta adat bagi masyarakat setempat. Sayangnya, sekarang sudah sangat sulit
untuk menemukan ikan tersebut di Danau Toba. Spesies ikan endemik Danau Toba
ini mulai terancam punah akibat kerusakan lingkungan.
Ikan semah (Tor spp., syn. Labeobarbus, suku Cyprinidae; juga dipakai untuk
jenis-jenis Neolissochilus dan Naziritor di India) adalah ikan air tawar yang
berasal dari Indo-Australia dan anak benua India. Nama lain ikan ini adalah
tambra (Jawa), sapan (Kalimantan)[1], ihan batak atau curong (bahasa Toba)[2],
mahseer, atau kelah (Malaysia). Nama "semah" populer dipakai di
Sumatra bagian tengah hingga ke selatan.
Ikan yang masih sekerabat dengan ikan mas ini populer sebagai bahan pangan
kelas tinggi, dan yang biasa dijumpai dan dikonsumsi di Indonesia dan
Malaysiaadalah Tor douronesis (semah biasa), T. tambra (tambra), T. tambroides
(tambra), dan T. soro (kancera)[3]. Ikan tambra dan semah dapat mencapai
panjang sekitar satu meter[4], walaupun tangkapan yang dijual biasanya
berukuran maksimum 30 cm.
Ikan ini hidup di sungai-sungai beraliran deras di pegunungan dan populasi
sangat terancam akibat penangkapan berlebihan. Indikasi yang terlihat adalah
semakin jarang terlihat, ukuran tangkapan semakin kecil, dan distribusi
menurun. Bahkan telah dilaporkan pula penangkapan di beberapa taman nasional.
Pihak berwenang di Indonesia (Balai Benih Ikan lokal), seperti di Jawa
Tengah,[5], Padang Pariaman, dan beberapa kabupaten pedalaman Jambi telah mulai
mengembangkan teknologi pembiakan menggunakan pemijahan buatan dan paket
budidaya. Selain itu, di Padang Pariaman aturan adat setempat juga ditegakkan
dengan pemberlakuan zona larangan, penyangga, dan penangkapan. Penangkapan
hanya dilakukan apabila terdapat izin dari kerapatan adat.
Ikan Batak
IKAN BATAK |
yang dikenal secara umum di Indonesia adalah dari genus Tor, yang di Tanah
Batak dikenal dengan Dekke Jurung-jurung (Ikan Jurung). Memang benar Ikan
Jurung ini dinamaiIkan Batak, namun Ikan Batak yang disebut sebagai Ihan adalah
ikan asli Batak yang sudah menuju kepunahan atau memang sudah punah adalah dari
genus Neolissochilus.
Ikan Batak yang secara umum di Indonesia memiliki nama-nama lain di setiap
daerah seperti: Ikan Jurung (Sumatra Utara), Ikan Kerling (Aceh), Iken Pedih
(Gayo), Ikan Gariang (Padang), Ikan Semah (Palembang), Ikan dewa (Jawa Barat),
Ikan Kancra bodas, Kencara (Kuningan Jawa Barat), Ikan Tambra, Tombro (Jawa),
Ikan Kelah, Ikan Sultan (Malaysia), Ikan Mahseer (Internasional), dan mungkin
masih banyak nama lainnya.
Secara morfology memang sulit untuk membedakan antara genus Tor dan genus
Neolissochilus, bahkan boleh dikata ada kemiripan bentuk dengan jenis ikan mas
kecuali ukuran sisik yang lebih besar daripada ikan mas (Cyprinus Carpio) yang
memang dari keluarga yang sama yaitu family Cyprinidae. Kemiripan inilah yang
membuat orang-orang lantas menamakan Ikan Jurung sebagai Ikan Batak, padahal
Ikan Batak Asli adalah yang disebut Ihan adalah dari genus Neolissochilus yang
sudah menuju kepunahan, dan salah satu spesiesnya Neolissochilus thienemanni,
Ahl 1933 adalah ikan endemik Danau Toba dan umumnya di Tanah Batak.
Ikan
batak (To toro) tak hanya bernilai ekonomis sangat tinggi, tetapi juga
bernilai budaya yang tinggi, khususnya bagi Suku Batak, Sumatra Utara.
Menurut salah seorang tetua, ikan yang dulu banyak ditemukan di Danau
Toba ini sering dihidangkan dalam upacara adat. Harganya bisa mencapai
Rp. 350.000/kg.
Di Danau Toba, Tor toro hidup dengan janis lainnya, yaitu Neolissochilus thieneman, Neolissochilus somatranus, Neolissochilus longipinis. Selain
di Sumatra Utara, khususnya di Danau Toba, ikan inipun bisa ditemukan
di Kuningan, Sumedang dan Kediri. Di Kuningan, ikan batak dipelihara di
kolam-kolam tua dan dianggap kramat, dengan sebutan “ Ikan Dewa “.
Bulan Nopember 2009, Tim peneliti dari Balai Riset Perairan Umum (BRPU)
Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Republik Indonesia berhasil menemukan 4
(empat) spesies ikan dari genus Tor (Ikan Batak = Ikan Jurung) di Danau Laut
Tawar Takengon Aceh Tengah. Penemuan ini sangat menggembirakan karena di Danau
Laut Tawar itu menjadi habitat terbanyak spesies ini, dimana sebelumnya di Jawa
Barat hanya terdapat 3 spesies dari genus Tor ini. Spesies yang ditemukan di
Danau Laut Tawar ini adalah species Tor Douronensis, Tor Tambra, Tor Soro dan
Tor Tambroides.
Kualitas air Yang Dibutuhkan Ikan Batak
Hal
utama yang harus diperhatikan dalam budidaya ikan batak adalah kualitas
air. Ternyata kualitas yang sesuai dengan kehidupan ikan batak berbeda
dengan ikan mas, lele dan ikan-ikan lainnya. Ikan mas dan lele mampu
hidup di air keruh, namun ikan batak tidak, lebih hidup di air jernih
dan lebih senang di ari jernih dan deras.
Menurut
Balai Riset Perikanan Air Tawar, Pusat Riset Perikanan Budidaya,
kualitas air yang diinginkan ikan batak adalah sebagai berikut : oksigen
terlarut 6,8 – 7,0 mg/lt, pH 6,0, suhu 21 – 24 O C, karbondioksida 2,2 – 4,5 mg/l, kesadahan 12,3 mg/l, debit air 6,0 – 6,35 liter/detik dan kecerahan lebih dari 2,5 m.
0 comments:
Post a Comment