Pada umumnya kota-kota di Indonesia selalu
saja menyebut nama etnis mayoritas untuk sebutan suatu kampung, cara ini
dianggap yang paling mudah mengetahui etnis mayoritas di kawasan itu. Kita
ambil contoh ada Kampung Madras, berarti di kampung itu banyak bermukim orang yang berasal dari Madras.
Demikian juga daerah lain punya Kampung Melayu, Kampung Jawa, Kampung Bantan,
Kampung Madura dan kampung-kampung etnis lainnya. Maka di Serdang Bedagai tidak kalah penting, di sini ada
kampung Bali. Ini yang terasa unik di Kabupaten Serdang Bedagai. Walaupun suku Bali tidak mayoritas di
tempat itu tetapi keberadaan mereka cukup eksis sehingga membuat suasana
kampung bernuansa beda dari kampung-kampung
sekitarnya, seperti cara mereka beribadat dengan memakai atribut khas Bali yang
dirasa penduduk sekitar agak berbeda. Tetapi dalam segi pergaulan mereka tidak
pernah merasa berbeda bahkan sangat akrab dengan penduduk etnis lain. Seperti
diketahui Etnis Bali jarang atau tidaklah telalu banyak yang merantau ke pulau
lain kalau dibandingkan denganorang Tapanuli atau
Minangkabau. Kedatangan mereka ke Pegajahan ini sepertinya
perlu di ketahui dan menjadi catatan
sejarah.
Letak
Kampung Bali
.Kampung Bali terletak
di Kecamatan Pegajahan Kabupaten
Serdang Bedagai Sumatera Utara dan
berjarak kira-kira 13 km dari kota Perbaungan tepatnya di Dusun Harapan II B, Desa Pegajahan, yang letaknya berbatasan
dengan Kecamatan Perbaungan dikelilingi oleh Perkebunan PTPN IV Adolina. Di tempat ini sebagaimana tempat-tempat lain
di Serdang Bedagai dihuni oleh bermacam-macam suku bangsa seperti, Minangkabau,
Banjar, Batak, Melayu, Bali dan lainnya.
Untuk menuju ke kampung Bali tidaklah sukar karena jalanan sudah
terbilang lumayan bagus dab beraspal. Dari Perbaungan ada pertigaan untuk
menuju Kecamatan Pegajahan dan di Pinggir jalan sudah ada penunjuk arah untuk
menuju Pura Bali.
Asal Muasal
Meletusnya Gunung
Agung pada tahun 1963 mengakibatkan penduduk sekitar harus di transmigrasikan
atau dikirim ke pulau lain sebagai tenaga kontrak karena 70 km2 kawasan sekitar Gunung Agung
terkena dampak letusan. Penduduk sekitar
Gunung Agung yang akan diberangkatkan ke Luar Pulau Bali mendapat pilihan yaitu
sebagai tenaga kontrak atau sebagai transmigran. Untuk transmigran akan di
kirim ke Pulau Kalimantan dan Selawesi dan untuk tenaga kontrak akan di kirim
ke Sumatera Utara. Maka sebagian etnis Bali yang sekarang di Pegajahan ini
adalah tenaga kontrak selama 6 tahun bekerja di perkebunan rambung/ karet. Demikian
waktu pun bergulir
mereka telah merasa sesuai dengan tempat
ini maka mereka memperpanjang masa kontrak 6 tahun kedepan dan seterusnya. Menurut dua orang narasumber yang penulis
jumpai yaitu Bapak Nengah Sumadi Yasa berusia 67 tahun dan Bapak Made Widya seorang kakek yang telah
berumur 83 tahun dan pernah menjadi sopir pribadi Menteri Luar Negeri Repulik
Indonesia era Bung Karno “Anak Agung Gde Agung”
yang menjabat dari tahun 1955-
1956, Made Widya
adalah sopir pribadi sang Menteri. Kakek
ini pun mengaku sangat dengat dekat dengan Bung Hatta. Dan beliau adalah salah seorang diantara warga
Bali yang di berangkatkan ke Sumatera Utara pada tahun 1963. Keberangkatannya
ke Sumatera Utara tidak diketahui oleh mantan majikan dan kenalan lain di
Jakarta. Saat itu ada 63 Kepala Keluarga Etnis Bali atau sekitar 200 an orang yang
di berangkatkan langsung dari Bali ke Sumatera Utara tepatnya di Desa Pegajahan
ini untuk dijadikan buruh pada perkebunan Karet. Seandainya pada tahun-tahun itu telah ada
telepon cellular mungkin sang Kakek tidak akan di jadikan kuli kontrak sampai
ke Sumatera ini. Bisa saja beliau menelepon mantan majikannya untuk meminta
kerja atau bantuan sekedarnya karena daerah beliau di Pulau Bali ludes terkena
letusan gunung Agung. Pada saat peristiwa seperti inilah sistem komunikasi seperti sekarang ini sangat berguna.
Etnis Bali yang berada di Pegajahan ini
hidup berdampingan secara damai dengan etnis lainnya. Seperti diketahui setiap kepercayaan memiliki
rumah ibadah maka Etnis Bali perantauan ini sangat membutuhkan suatu tempat
Ibadah. Maka pada tahun 1989, Ida Bagus Puja menghibahkan
tanah miliknya
seluas 2 rantai ( 800 m2) untuk didirikan sebuah Pura di dusun II B Pegajahan. Pembangunan pura ini
dibantu oleh sejumlah warga Bali yang tersebar di beberapa wilayah di Sumatera Utara. Maka pada tahun
1989 berdirilah Pura ini. Pura yang diberi nama Pura Penataran
Dharmaraksaka kemudian menjadi kebanggaan
masyarakat mereka karena mereka sudah mempunyai tempat beribadah seperti Agama
lain. Pura ini yang membuat mereka merasa Home
berada di perantauan dan menjadikan mereka bisa berinteraksi satu sama
lainnya. Juga tidak jarang etnis Bali
yang berada di daerah lain datang berkunjung ke Pegajahan ini untuk
bersilaturahmi dengan saudara-saudara sepulau.
Pura ini ramai dikunjungi setidaknya dua kali sebulan oleh umat Hindu Bali untuk
beribadah pada waktu purnama dan Tilem (bulan gelap). Upacara ini dipimpin oleh
Pemangku I Wayan Gio. Karena komunitasnya yang kecil membuat warga Bali ini memiliki
rasa kekeluargaan yang kental dengan saling mengunjungi warga Bali lainnya di luar Sergai. Diantara 63 KK yang datang ke Pegajahan ini ada
beberapa orang penari Bali sehingga pada
saat itu sampai tahun 1980an mereka sering di undang untuk pertunjukan tari Bali
di Medan. Beberapa tahun terakhir ini tarian Bali sudah boleh dikatakan punah
di Pegajahan ini karena sang penari sudah menjadi nenek-nenek dan sangat
disayangkan tidak ada penerus yang berminat untuk melanjutkan tarian
tradisional ini. Tetapi kegiatan keagamaan tetap dilakukan sebagaimana aslinya
di Bali.
Pura ini terbagi pada tiga bagian
bangunan yaitu Utama (Kepala) ), Madya (Pinggang) dan Nista (Kaki). Patung Saraswati yang
terdapat di area utama pura ini dipercaya penerima ilmu pengetahuan sehingga
umat hindu memohon melaluinya untuk mendapatkan
pengetahuan.
Mengenang keindahan pulau Bali dan keakraban sesama penduduk nya
maka rindu kampung tak dapat terelakkan, karena itu sehabis kontrak dengan
Perkebunan sebagian mereka ada yang pulang kampung. Saat ini Etnis Bali yang
berada di Pegajahan hanya sekitar 8 Kepala Keluarga. Karena sebagian ada yang
kembali ke daerah asal dan sebagian sudah kawin dengan penduduk setempat dan
beralih agama.
Objek
Wisata.
Menelusuri
keadaan Kampung Bali ini penulis merasa
ada sesuatu keunikan yang tersimpan di dalamnya atau boleh di kiaskan ada harta
karun di desa Pegajahan ini. Harta itu adalah budaya Bali yang masih kental
yang bisa di poles untuk di jual menjadi suatu objek wisata budaya andalan
Kabupaten Serdang Bedagai. Daerah ini bisa dijadikan Desa Wisata yang nantinya
menuju Ecotourism Object (Objek
Ekowisata). Di yakini dengan adanya program ekowisata maka pendapatan
masyarakat akan meningkat karena ekowisata adalah wisata yang berbasis
masyarakat (Community based Tourism).
Selain wisata budaya Daerah pegajahan
juga sentra home industry seperti
kerupuk Opak, Kerupuk Yeye dan bermacam-macam panganan dari ubi. Mari menikmati
keindahan Serdang Bedagai dan merasakan berbagai kuliner mulai masakan Melayu, Minangkabau, Madura , Cina, India dan
lainnya.
Taman Sari ( Tempat Pengambilan Air Secara Sakral) |
0 comments:
Post a Comment