Setelah
upaya memanfaatkan potensi sungai Asahan yang mengalir dari Danau Toba
di Provinsi sumatera Utara untuk menghasilkan tenaga listrik mengalami
kegagalan pada masa pemerintahan Hindia Belanda, pemerintah Republik
Indonesia bertekad mewujudkan pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Air
(PLTA) di sungai tersebut.
Tekad ini
semakin kuat ketika tahun 1972 pemerintah menerima dari Nippon Koei,
sebuah perusahaan konsultan jepang laporan tentang studi kelaikan Proyek
PLTA dan Aluminium Asahan. Laporan tersebut menyatakan bahwa PLTA layak
untuk dibangun dengan sebuah peleburan aluminium sebagai pemakai utama
dari listrik yang dihasilkanya.
Pada
tanggal 7 Juli 1975 di Tokyo, setelah melalui perundingan-perundingan
yang panjang dan dengan bantuan ekonomi dari pemerintah jepang untuk
proyek ini, pemerintah Republik Indonesia dan 12 Perusahaan Penanam
Modal Jepang menandatangani Perjanjian Induk untuk PLTA dan Pabrik
Peleburan Aluminium Asahan yang kemudian dikenal dengan sebutan Proyek
Asahan. Kedua belas Perusahaan Penanam Modal Jepang tersebut adalah
Sumitomo Chemical Company Ltd., Sumitomo shoji Kaisha Ltd., Nippon Light
Metal Company Ltd., C Itoh & Co., Ltd., Nissho Iwai Co., Ltd.,
Nichimen Co., Ltd., showa Denko K.K., Marubeni Corporation, Mitsubishi
Chemical Industries Ltd., Mitsubishi Corporation, Mitsui Aluminium Co.,
Ltd., Mitsui & Co., Ltd.
Selanjutnya,
untuk penyertaan modal pada perusahaan yang akan didirikan di Jakarta
kedua belas Perusahaan Penanam Modal Tersebut bersama Pemerintah Jepang
membentuk sebuah nama Nippon Asahan aluminium Co, Ltd (NAA) yang
berkedudukan di Tokyo pada tanggal 25 Nopember 1975.
Pada
tanggal 6 Januari 1976, PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum), sebuah
perusahaan patungan antara pemerintah Indonesia dan didirikan di
Jakarta. Inalum adalah perusahaan yang membangun dan mengoperasikan
Proyek Asahan, sesuai dengan perjanjian induk. Perbandingan saham antara
pemerintah Indonesia dengan Nippon Asahan aluminium Co., Ltd, pada saat
perusahaan didirikan adalah 10% dengan 90%. Pada bulan Oktober 1978
perbandingan tersebut menjadi 25% dengan 75% dan sejak Juni 1987 menjadi
41,13% dengan 58,87%. Dan sejak 10 Februari 1998 menjadi 41,12% dengan
58,88%.
Untuk melaksanakan ketentuan
dalam perjanjian induk, Pemerintah Indonesia kemudian mengeluarkan SK
Presiden No.5/1976 yang melandasi terbentuknya Otorita Pengembangan
Proyek Asahan sebagai wakil Pemerintahan yang bertanggung jawab atas
lancarnya pembangunan dan pengembangan Proyek Asahan. Inalum dapat
dicatat sebagai pelopor dan perusahaan pertama di Indonesia yang
bergerak dalam bidang Industri peleburan aluminium dengan investasi
sebesar 411 milyar Yen.
Secara de facto, perubahan status Inalum
dari PMA menjadi BUMN terjadi pada 1 November 2013 sesuai dengan
kesepakatan yang tertuang dalam Perjanjian Induk. Pemutusan kontrak
antara Pemerintah Indonesia dengan Konsorsium Perusahaan asal Jepang
berlangsung pada 9 Desember 2013, dan secara de jure Inalum resmi
menjadi BUMN pada 19 Desember 2013 setelah Pemerintah Indonesia
mengambil alih saham yang dimiliki pihak konsorsium. PT INALUM (Persero)
resmi menjadi BUMN ke-141 pada tanggal 21 April 2014 sesuai dengan
Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2014.sumber:http://www.inalum.co.id
0 comments:
Post a Comment